Selasa, 28 Oktober 2014

KEBUDAYAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

     Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat Yogyakarta sangatlah beragam.
    Sehingga bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas di Yogyakarta antara lain adalah kethoprak, jathilan, dan wayang kulit. yogyakarta juga dikenal dengan perak dan gayayang unik membuat batik kain dicelup, yogyakarta juga dikenal karena seni kontemporer hidup. Yogyakarta juga dikenal dengan gamelan musik, termasuk gaya yang unik gamelan Yogyakarta.




Ada banyak kesenian tradisional di Yogjakarta,Berikut ini beberapa kesenian Yogyakarta yaitu:

1.      WAYANG
Wayang dalam bentuk yang asli merupakan kreasi budaya orang Jawa yang berisi berbagai aspek kebudayaan Jawa. Orang Jawa gemar sekali menonton wayang karena ceritanya berisi pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berguna yang dapat dijadikan pedoman dan tuntunan di dalam menjalani hidup di masyarakat, pementasan wayang selalu diiringi dengan musik gamelan.




2.      LANGEN MANDRA WANARA
Langen Mandra Wanara yang merupakan kombinasi antara berbagai jenis tarian, tembang, drama dan irama gamelan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional Yogyakarta. Karakteristik tarian ini adalah para penarinya berdiri dengan lutut atau jengkeng sambil berdialog dan menyanyi. Cerita langen mandra wanara diambil dari kisah ramayana dengan lebih banyak menampilkan tokoh kera.


3.      KETOPRAK
Kethoprak adalah kesenian tradisional yang penyajiannya dalam bahasa Jawa ceritanya bermacam-macam berisi dialog tentang sejarah sampai cerita fantasi serta biasanya selalu didahului dengan tembang Jawa. Kostum dan dandanannya disesuaikan dengan adegan dan jalan cerita serta selalu diiringi dengan irama gamelan.

4.      KARAWITAN
Musik gamelan tradisional Jawa yang dimainkan oleh sekelompok Wiyaga dan diiringi oleh nyayian dari Waranggono dan Wiraswara.

5.      JATILAN
Merupakan tarian yang penarinya menggunakan kuda kepang dan dilengkapi unsur magis. Tarian ini digelar dengan iringan beberapa jenis alat gamelan seperti Saron, kendang dan gong.

6.      SENDRATARI RAMAYANA
Salah satu sendratari yang terkenal adalah sendratari Ramayana. Sendratari Ramayana mempunyai keistimewaaan tersendiri karena ceritanya mengisahkan antara tokoh yang baik (ditokohkan oleh Sri Rama) melawan tokoh jahat yang bernama Rahwana. Sendaratari Ramayana dipentaskan di Panggung Terbuka di Candi Prambanan.



 
 
 
 
 
 
Candi
Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa ataupun memuliakan buddha.

BATIK
Jenis batik
  • Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
  • Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
  • Batik lukis adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih.
 sumber : 

BUDAYA BLORA

28 Oktober 2014

sumber : www.blorakab.go.id

 

Budaya Blora

 

SENI BARONG

 

Kesenian Barong atau lebih dikenal dengan kesenian Barongan merupakan kesenian khas Jawa Tengah. Akan tetapi dari beberapa daerah yang ada di Jawa Tengah Kabupaten Blora lah yang secara kuantitas, keberadaannya lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten lainnya.

Seni Barong merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Blora, terutama masyarakat pedesaan. Didalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti sifat : spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.

Barongan dalam kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai Singo Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas.

Adapun tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut juga GEMBONG AMIJOYO yang berarti harimau besar yang berkuasa.

Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara totalitas didalam penyajian merupakan tokoh yang sangat dominan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu : Bujangganong / Pujonggo Anom Joko Lodro / Gendruwo Pasukan berkuda / reog Noyontoko Untub.

Selain tokoh tersebut diatas pementasan kesenian barongan juga dilengkapi beberapa perlengkapan yang berfungsi sebagai instrumen musik antara lain : Kendang,Gedhuk, Bonang, Saron, Demung dan Kempul. Seiring dengan perkembangan jaman ada beberapa penambahan instrumen modern yaitu berupa Drum, Terompet, Kendang besar dan Keyboards. Adakalanya dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian campur sari.

Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun / Pujonggo Anom dan Singo Barong.

Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut :

Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji putri dari Raja Kediri, maka diperintahlah Patih Bujangganong / Pujonggo Anom untuk meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin oleh empat orang perwira diantaranya : Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan Kuda sangsangan. Sampai di hutan Wengkar rombongan Prajurit Bantarangin dihadang oleh Singo Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak menjadi peperangan yang sengit. Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo Barong, akan tetapi keempat perwiranya dapat lolos dan melapor kepada Sang Adipati Klana Sawandana. Pada saat itu juga ada dua orang Puno Kawan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untub juga mempunyai tujuan yang sama yaitu diutus R. Panji untuk melamar Dewi Sekar Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub mendapatkan rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan perjalanan, namun keduanya saling ngotot sehingga terjadilah peperangan. Namun Noyontoko dan Untub merasa kewalahan sehingga mendatangkan saudara sepeguruannya yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge. Akhirnya Singo Barong dapat ditaklukkan dan dibunuh. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian. Meskipun sudah mati asal disumbari ia dapat hidup kembali. Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, kemudian berangkatlah R. Panji dengan rasa marah ingin menghadapi Singo Barong. Pada saat yang hampir bersamaan Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujangganong ( Pujang Anom ) yang dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana Sawendada mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman dan berangkat menuju hutan Wengker untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di Hutan Wengker dan ketemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit antara Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya Adipati Klana Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata andalannya yang berupa Pecut Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman menjadi lumpuh tak berdaya.

Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana Sawendana kekuatan Singo Barong dapat dipulihkan kembali, dengan syarat Singo Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu dengan rombongan Raden Panji yang juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji. Perselisihanpun tak terhindarkan, akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dengan Adipati Klana Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati Klana Sawendana berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela Adipati Klana Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi menjadi manusia ( Gembong Amijoyo ) lagi. Akhrnya Singo Barong Takhluk dan mengabdikan diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari Kerajaan Bantarangin.

Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang keberadaan kesenian Barongan.

 SENI TAYUB

 

Tayuban merupakan salah satu seni kebudayaan yang ada di Blora. Berdasarkan keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan, perkataan Tayuban berasal dari kata Tayub, yang menurut keroto boso adalah ringkasan dari kata "ditoto guyub" dan itu adalah bahwa didalam penyajian seni tayuban gerak tari para penari serta gending iringannya diatur bersama supaya serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain ( penari dan penabuh ) dengan para penonton. Sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Seni Tayuban menggambarkan penyambutan para tamu atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masing-masing. Penyambutan itu oleh para pemain wanita yang disebut joget dengan cara menyerahkan sampur ( selendang yang dipakai penari wanita ) atas petunjuk pengarih. Tamu yang menerima sampur atau istilah "ketiban sampur" mendapatkan kehormatan untuk menari bersama-sama dengan joget.

Didalam kelompok seni pertunjukan, tayuban dapat digolongkan tari rakyat tradisional, sifat kerakyatan sangat menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat pedesaan yang umum dijumpai diwilayah Kabupaten Blora, seperti sifat spontanitas, kekeluagaan, kesederhanaan, sedikit kasar, namun penuh rasa humor.

Sebagaimana ciri khas tari ini yang sudah memasyarakat, maka Tayuban sudah menyebar hampir seluruh Kabupaten Blora. Seni Tayuban pada umumnya dipentaskan pada upacara adat yaitu sedekah desa, sedekah bumi atau upacara adat lain. Juga pada orang punya kerja, memenuhi nadar, khitanan,perkawinan dan sebagainya.

Minggu, 26 Oktober 2014

KEBUDAYAAN ACEH

27 Oktober 2014

Budaya Masyarakat Aceh

Picture
Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, memiliki budaya (adat) yang identik dengan Islam. Hal ini sesuai dengan ungakapan yang sangat populer dalam masyarakat Aceh: “Adat bak po Teumeureuhom Hukum bak Syiah Kuala, Antara hukum ngon adat lage zat ngon sipheut.”
Semua orang, baik yang lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipun tidak semua menjalankan syariat dengan baik.
Islam yang datang ke Aceh telah kawin dengan adat Aceh dan telah melahirkan identitas Aceh yang sangat khas “Aceh Serambi Mekah”. Dari perkawinan ini terjadi proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan melekatnya identitas baru di Aceh.
Kehidupan budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini. Dwi tunggal keuchik dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan harmonisasi tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat, diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam penyelesaian konflik di desa.

Keuchik dan Teungku
Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga.
Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan.
Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungakapan populer yang berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya : “Yang rayek tapeu ubit, nyak ubit tapengadoh” artinya “Masalah kecil jangan diperbesar, kalau dapat dihilangkan.”
Juga ungakapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya sangat mencintai perdamaian dalam penyelesaian sengketa seperti misalnya : “Meunya Tatem Ta megot-got harta bansot syedara pihna”, artinya: “Bila mau berbaik-baik harta/biaya tidak habis, atau persaudaran tetap terpelihara.”

Picture
penjualan daging meningkat pada saat meugang
Tradisi meugang di aceh
Warga Aceh memiliki tradisi unik menyambut bulan suci Ramadhan. Meugang yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama keluarga diperingati dua hari menjelang masuknya bulan suci. Meugang adalah tradisi di Aceh yang mungkin tidak ditemukan di daerah indonesia lainnya, meugang merupakan tradisi masyarakat aceh secara turun temurun. Meugang juga berlaku saat menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada saat meugang biasanya harga pasaran daging di aceh melambung tinggi karna tingginya permintaan.

Jumat, 24 Oktober 2014

BUDAYA BETAWI

25 Oktober 2014
sumber : infobudaya.com

Budaya Betawi


kesenian betawi

Asal usul:
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.

Istilah Betawi
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa MelayuKreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.

Sejarah
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.


Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.

Suku Betawi
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Bahasa.
Sifat campur-aduk dalam dialekBetawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Seni dan kebudayaan
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, RebanaTanjidor dan Keroncong.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Kepercayaan
Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Rabu, 22 Oktober 2014

KEBUDAYAAN BALI

22 Oktober 2014
sumber : http://oviefendi.wordpress.com
Kebudayaan Bali

1.     Sistem kepercayaan
            Mayoritas masyarakat bali adalah beragama Hindu. Dalam kehidupan beragama, masyarakat bali yang beragama Hindu percaya adanya satu tuhan dalam bentuk Trimurti yang Esa yaitu Brahmana (yang menciptakan), Wisnu (yang melindung dan memelihara), dan siwa (yang merusak). Selain itu masyarakat bali juga percaya kepada berbagai Dewa yana lain yang kedudukannya yang lebih rendah dari Trimurti, seperti dewa Wahyu (dewa angin), dan Dewa Indra (dewa perang). Agama Hindu di Bali juga mempercayai adanya roh abadi (Otman), buah dari setiap perbuatan (Karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (Punarbawa) dan kebebasan jiwa (moksa), semua ajaran-ajaran itu berada di kitab Wedha.
            Tempat untuk melakukan persembahyangan (ibadah) agama Hindu di Bali dinamakan Pura atau Sangeh. Tempat ibadah ini berupa sekelompok bangunan-bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum seperti Pura desa dan ada yang sifatnya khusus yaitu Pura keluarga. Di bali terdapat beribu-ribu pura atau sangeh yang masing-masing pura tersebut mempunyai hari upacara (hari perayaan) tertentu sesuai denga perayaan leluhur mereka yang telah ditentukan oleh sistem tanggalanya sendiri-sendiri.
            Upacara tradisional khas Bali yang mempunyai daya tarik bagi wisatawan adalah upacara Ngaben. Ngaben adalah upacara pembalkaran mayat di Bali. Dengan demikian, setiap orang yang sudah meninggal tidak cikubur melainka dibakar. Upacara  ini memerlukan biaya yang cukup besar, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu saja. Sebalum dibakar terlebih dahulu orang yang meninggal diletakan di sebuah tandu panjang (seperti keranda), kemudian dibawa ketempat pembakaran. Tandu ini biasanya diangkat oleh empat sampai delapan orang yang merupakan kerabat atau saudara dekat dari orang yang meninggal. Dalam perjalanan pengiring mengucapkan puji-pujian dan nyanyian sebagai pemujaan yang dipimpin oleh pemangku setelah sampai di tempat pembakaran, sebelum masuk pintu, tandu tersebut diputar-putar sebanyak tiga kali, sebagai tanda penghormatan dan izin untuk memasuki tempat pembakaran. Setelah dibakar, kemudian abu tersebut di buang kelaut, ada juga yang disimpan di tempat khusus.
            Selain upacara Ngaben, ada juga upacara lain seperti upacara hariraya Nyepi, Ngebak Geni, Hari Raya Kuningan, Hari raya Galungan, dll.
            Keseluruhan upacara di bali dapart di kelompokan sebagai berikut :
  1. Manusia Nyadan, yaitu upacara siklus dari anak-anak sampai dewasa
  2. Putra Nyadan, yaitu upacara untuk roh-roh
  3. Dewa Nyadan, yaitu upacara pembesaran
  4. Buta Nyadan, yaitu upacara yang ditunjukan untuk roh-roh jahat
2.      Sistem Kasta
                        Akibat kuat agama Hindu, di Bali berlaku sistem kasta, yaitu pemisahan masyarakat berdasarkan kedudukan atau tingkat kehormatan. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat Bali dibedakan menjadi 4 Kasta, yaitu :
     1.  Kasta Brahmana
Kasta ini ditempati olah para dewa kerajaan, seperti pendeta. Kasta ini merupakan kasta tertinggi di bali, sehingga seseorang dapat menduduki kasta ini sangat dihormati oleh masyarakat umum atau kasta dibawahnya.
     2.  Kasta Ksatria
Kasta ini ditempati oleh para bangsawan kerajaan seperti raja, pangeran dan berbagai pengawal kerajaan seperti patih dan panglima perang, pejabat-[ejabat kerajaan yang diberi wewenang untuk memimpin daerah tertentu dibawah daerah kekuasaan raja. Kasta Ksatria dianggap kasta yang mempunyai gengsi dan martabat atau derajat yang tinggi bagi orang yang ada di dalamnya.
     3.  Kasta Waisya
Kasta ini di tempati oleh para petani dan pedagang. Petani di bali juga digolongkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan kekayaan material atas kepemilikana tanah, sawah dan tempat tinggal.
  • Petani Kelas Atas
Petani karya atas adalah mereka yang mempunyai penghasilan atas sawah atau ladang lebih dari cukup dan bisa di gunakan untuk mencukupi dan menghidupi seluruh keluarga dan saudaranya. petani karya atas ini memiliki sawah lebih dari 5 hektar dan juga memiliki tanah pekarangan beserta halman untuk rumah tempat tinggalnya. Bagi petani karya atas, penggarapan sawah tidak dilakukan sendiri, tetapi dengan cara mempekerjakan buruh tani atau dari kasta sudra.
  • Petani Kaya Sedang
Petani golongan ini mempunyai sawah dengan luas 1-5 hektar atau mempunyai sawah cukup luas, hingga hanya dapat mencukupi kebutuhan keluarganya sendiri, tetepi untuk mencukupi kebutuhan saudaranya ditangguhkan.
  • Petani Kaya Bawah
Yaitu petani yang hanya mempunyai sawah kurang dari 1 hektar. Petani ini mengolah sendiri sawah mereka, hasilnya sebagai konsumsi pribadi beserta keluarganya.
     4.  Kasta Sudra
Kasta Sudra pada masyarakat bali yaitu mereka yang keberadaanya kurang dihormati. Golongan kasta Sudra ini tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah pekarangan atau rumah tempat tinggal. Kasta ini merupakan kasta terendah dalam pembagian kasta di bali.
3.     Sistem Kesenian
            Sistem keseniandi bali antara lain tari-tarian Bali, rumah adat dan pakaian adat bali. Tari-tarian Bali seperti tari Legong dan tari Kecak sanat disukai oleh wisatawan. Tari Legomg merupakan tari yang menceritakan kisah cinta raja Lasem, sementara tari Kecak mengiahkan tentang Bola Tantra Kera Hanoman dan Sugriwa.
            Beberapa rumah adat di bali antara lain gapura candi Bentar yang merupakan pintu masuk istana raja. Balai Bengong yaitu tempat peristirahatan raja beserta kori Babetelan yaitu pintu masukuntuk upacara keluarga.
            Pakaian adat bali pria adalah ilat kepala (destar) kain songket Saput dan sbilah Keris yang diselipkan kepinggang bagian belakang. Sedangkan untuk wanita umumnya menggunakan dua helai kain songket, stangen Songket dan selendang, serta memakai hiasan bunga emas da bunga kamboja.
4.     Sistem Kekerabatan
Perkawinan merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan manusia, demikian juga dengan masyarakat bali yang memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai warga masyarakat, untuk melakukan perkawinan.
Menurut ajaran adat lama yang banyak dipemgaruhi oleh sistem klan-klan (dadra) dan sistem kasta (wangsa), perkawinan dilakukan antara warga se-klan atau antara warga yang sianggap sederajat dalam kasta. Sementara perkawinan yang dianggap pantangan adalah perkawinan Bentukar (makadengan ngad) yaitu perkawinan antara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri, perkawinan ini dianggap pantangan karena menurut kepercayaan dapat mendatangkan bencana. Selain itu, perkawinan pantangan lain yang merupakan dosa besar adalah perkawinan antara seseorang dengan anaknya, seseorang dengan saudara kandungnya atau saudara tirinya dan antara seseorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya.
Pada umumnya pemuda di bali dapat memperoleh seorang istri dengan dua cara yaitu cara memina kepada keluarga si gadis atau dengan melarikan si gadis.kedua cara tersebut merupakan adat-adat perkawinan di bali. Kedua cara tersebut dilakukan dengan melakukan kunjungan resmi dari keluarga si pemuda kepada si gadis, guna meminang si gadis atau dengan memberitahukan kepada keluarga si gadis bahwa si gadis telah di bawa lari untuk di kawinkan. Kemudian diadakan upacara perkawinan dan kunjunga resmi dari keluarga si pemuda kerumah orang  tua si gadis untuk meminta diri kepada roh nenek moyang si gadis.
Setelaha menikah, biasanya pasangan suami istri baru menetap di kompleks perumahan dari orang tua si suami. Tetepi tidak sedikit suami istri baru menetap di rumah baru. Sebalikanya ada pula suatu adat perkawinan dimana pasangan suami istri baru menetap di kompleks perumahan keluarga si istri.
5.     Kehidupan Sosial Masyarakat Bali
     1.  Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan wilayah social yang didasarkan pada kesatuan wilayah. Kesatuan sosial tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara, upacara keagamaan yang keramat. Di daerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan di daerah datar, sifat keanggotaanya tidak tertutup dan terbataspada orang-orang asli yang lahir di Banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebatulan menetap di Banjar bersangkutan di pisahkan untuk menjadi anggota (karma Banjar) jika yang bersangkutan menghendaki. Pusat banjar adalah Bale Banjar, di mana warga Banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar di kepalai oleh seorang kepala yang disebut kelai Banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan dari Banjar sebagai suatu komunitas, tetapi juga lapangan kehidupan beragama. Selain itu, ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kalian Banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
     2.  Subak
Subak di bali seolah-olah lepas dari Banjar, dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga Subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota Banjar. Warga Subak adalah oemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari bendungn-bendungan yang di urus oles suatu subjek.
     3.  Seka
Dalam kehidupan masyarakat bali, ada organisasi-organisasiyang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus yaitu Seka. Orgsnisasi ini bersifat turun-temurun, tetepi adapula yang bersifat sementara. Ada seka yang fungsinya menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenaan dengan desa, misalnya Seka Baris (perkumpulan tari baris), Seka teruna-teruni, Seka tersebut sifatnya permanen. Dan yang bersifat sementara seperti Seka yang didirikan berdasarkan suatu kebutuhan tertentu, misalnya Seka Memula (perkumpulan menuai), Seka Gong (perkumpulan gamelan), Seka-seka tersebut biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi Banjar maupun desa.
     4.  Gotong Royong (Ngupoin)
Meliputi aktifitas disawah (seperti menanam,menyiangi, memanen, dll) dalam sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, memperbaiki sumur, dll), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yangdi adakan oleh suatu keluarga atau dalam peristiw kecelakaan dan kematian, Mgupoin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahw bantuan tenaga yang diberikan wajib di balas dengan tenaga juga.

Selasa, 21 Oktober 2014

BUDAYA MASYARAKAT MADURA

21 Oktober 2014
Sumber : www.anneahira.com/kebudayaan-madura.htm
ontarmadura.com/budaya-madura-bukan-kepanjangan-budaya-jawa/ surabaya-metropolis.com/artikel/budaya/carok-bagian-budaya-madura.html

BUDAYA MADURA
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima.
Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyrakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat.
Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
Dari definisi diatas masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar Pulau Madura), meskipun Madura masih berada di wilayah Indonesia tapi karena factor letak membuat kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu daerah-ke daerah lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan.
Untuk kebudayaan masyarakat Madura sendir berbeda dengan kebudayaan masyarakat lainnya, termasuk dengan kebudayaan Jawa Timur (Surabaya, Malang dll) meskipun Madura masih satu provinsi dengan mereka. Masyarakat Madura memiliki corak, karakter dan sifat yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat Madura disegani, dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.
Kebaikan yang diperoleh oleh masyarakat atau orang Madura akan dibalas dengan serupa atau lebih baik. Namun, jika dia disakiti atau diinjak harga dirinya, tidak menutp kemungkinan mereka akan membalas dengan yang lebih kejam. Banyak orang yang berpendapat bahwa masyarakat Madura itu unik, estetis dan agamis. Dapat dibuktikan dengan banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura dan tidak hanya itu saja, kebanyakan masyarakat Madura termasuk penganut agama Islam yang tekun, ditambah lagi mereka juga berusaha menyisihkan uangnya untuk naik haji. Dari hal tersebut tidak salah kalau masyarakat Madura juda dikenal sebagai masyarakat santri yang sopan tutur katanya dan kepribadiannya.
Masyarakat Madura masih mempercayai dengankekuatan magis, dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat Madura. Slah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis tersebut adalah terhadab bendah pusaka yang berupa keris atau jenis tosan aji dan ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).
Untuk bahasa masyarakat Madura memiliki bahasa daerahnya sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarkat asli Madura. Bahasa Madura hamper mirip dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, karena bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa sebgai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau.
Bahasa Madura mempunyai system pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalannya. Bahasa Madura sebagaimana bahasa-bahasa di kawasan Jawa dan Bali juga mengenal Tingkatan-tingkatan, namun agak berbeda karena hanya terbagi atas tingkat yakni :
  • Ja’ – iya (sama dengan ngoko)
  • Engghi-Enthen (sama dengan Madya)
  • Engghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Bahasa Madura juga mempunyai dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah Madura. Di Pulau Madura sendiri pada galibnya terdapat beberapa dialek seperti dialek Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Kangean. Dialeg yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura.
Untuk kesenian sendiri Madura memiliki beberapa kesenian tradisional seperti karapan sapi, topeng, keris, batik, celuret, kleles dan tuk-tuk. Karapan sapi adalah perlombaan pacuan sapi yang sudah berlangsung sejak dulu. Karapan sapi juga dapat menaikkan setatus social pemilik sapi bila sapi miliknya bisa juara dalam perlombaan tersebut.
Karapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Para pemusik seronen ini bertugas sebagai alat penyemangat anggota kontingen bersrta sapi-sapinya sebelum karapan dimulai.
Topeng Madura biasanya digunakan untuk pentas kesenian topeng dalang, yaitu kesenian topeng yang dalam memerankan suatu cerita, penarinya tidak berbicara, dialog dilakukan oleh dalangnya cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana dan Mahabarata.
Batik Madura adalah sebuah kerajinan tangan yang berasal dari Pulau Madura, yang pusat pembuatan batik tersebut berada di daerah Bangkalan yang merupakan ujung Barat Madura, sampai di pasar Sumenep. Batik Madura seakan identik dengan satu tempat istimewa, yaitu Tanjung Bumi, yang berada di Bangkalan Utara, diluar jalur utama lintas Madura yaitu berada di sisi selatan pulau Madura.
Keris juga merupakan sebuah kerajinan tradisional dari Madura meskipun tidak begitu diketahui sejak kapan keris sudah menjadi senjata tradisional masyarakat Madura. Tempat kerajinan keris sekarang berada di Kabupaten Sumenep di desa Aeng Tongtong, kecamatan Saronggi. Keris sekarang dan keris pada masa lalu berbeda, bila keris sekarang digunakan hanya untuk meningkatkan/menaikkan pamor seseorang dan keris pada masa lalu digunakan sebagai alat berperang.
Celurit juga termasuk alat tradisional milik masyrakat Madura, terutama para rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di pulau Madura. Celurit dibuat di desa Peterongan, kecamatan Galis, kabupaten Bangkalan. Disana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit dan keahlian mereka adalah warisan sejak ratusan tahun lampau.
Kleles  adalah alat yang dipakai untuk pasangan sapi yang dikerap agar keduanya dapat lari seirama, sedangkan pada bagian buritan adalah tempat duduk joki, yang akan mengendalikan arah dan larinya sapi. Tuk-tuk sebagai instrument pengiring pada saat kerap sedang dibawa keliling maupun pada saat sedang berlangsung perlombaan kerapan sapi.
Cara hidup masyarakat Madura ada berbagai macam seperti ada masyarakat Madura yang merantau kedaerah-daerah lain yang bertujuan agar dapat menaikkan derajat mereka, ada pula yang masih di daerahnya untuk melakukan ternak sapi, bila yang tinggal didaerah pesisir mereka bekerja sebagai nelayan dan pembuat garam tradisional, ada pula yang membuat usaha di rumah seperti usaha batik tulis Madura, kerajinan celurit dan keris.
Pakaian adat masyarakat Madura untuk pria sangat identik dengan motif garis horizontal yang biasanya berwarna merah-putih dan memakai ikat kepala. Lebih terlihat gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa clurit. Dan untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan kain batik khas Madura dan mengenakan kebaya yang lebih simple.
Untuk rumahnya sendiri, masyarakat Madura kebanyakan rumahnya hamper mirip rumah Jawa (Joglo), karena bila dilihat dari sejarahnya Jawa masih ada benang merah dengan Madura maka ada akulturasi kebudayaan, antara budaya Jawa dengan budaya Madura.
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa Madura memiliki kebudayaan yang komplek dan menakjubkan. Tinggal kita, sebagai generasi muda apakah dapat melestarikan kebudayaan-kebudayaan peninggalan nenek moyang kita atau kebudayaan itu akan hilang dengan sendirinya dan anak cucu kita nantinya tidak akan dapat mengetahui dan menikmati kebudayaan peninggalan nenek moyang mereka.